Rabu, 21 November 2012

Lika-Liku Jalan Hidup Perempuan




Judul Buku      : Garis Perempuan
Penulis             : Sanie B. Kuncoro
Cetakan            : Pertama, Januari 2010
Penerbit            : Bentang ( Bentang Pustaka )
Tebal Buku       : X + 375 Halaman

Novel ini menceritakan tentang lika-liku kehidupan empat perempuan, yang tentunya berbeda. Berawal dari masa kanak-kanak mereka yang gemar bermain, permainan masa kecil berupa pasaran, gobak sodor maupun delikan. Ranting, Tawangsri, Gendhing dan Zhang Mey menghabiskan waktu dengan kebersamaan tanpa memandang etnis, status agama maupun latar belakang keluarga. Hingga suatu hari mereka berempat menerima undangan syukuran berupa Bancan, menandakan sebuah gerbang menuju kedewasaan perempuan.

Keempatnya saling berpikir, apakah kelak mereka pun mengalami hal yang sama dan melakukan semacam tradisi tersebut. Lantas mereka menanyakan pada orang tua masing-masing. Bermula dari Ranting yang menanyakan apa artinya perawan pada simboknya. Gendhing yang bertanya bagaimana rasanya menjadi perawan pada ibunya.  Tawangsri yang mempertanyakan mengapa harus menjadi perawan? Hingga Zhang Mey yang bertanya pada neneknya, kapan dia akan mengadi perawan. Pada akhirnya mereka menjawab semua pertanyaan tersebut, karena semua perempuan adalah perawan.
Waktu pun beranjak dan mempertemukan mereka dengan tingkatan hidup lebih dari sekedar masa kecil, menjadi dewasa. Diawali dengan kisah Ranting yang harus berjuang membantu sekaligus menggantikan pekerjaan simboknya menjadi bakul karak. Bangun dini hari mempersiapkan karaknya guna dititipkan pada bakul-bakul karak di pasar. Bapaknya telah lama meninggal dunia, sehingga dia hidup hanya dengan simboknya.
Suatu hari Ranting dihadapkan pada masalah pelik dan berkaitan dengan keuangan. Penyakit simbok yang semestinya segera diobati dan operasi terpaksa ditunda karena ketiadaan biaya. Fatalnya, simbok mengalami kecelakaan. Jatuh dan perutnya yang mengidap tumor terbentur ujung meja. Seketika itu simbok dibawa k rumah sakit dengan ambulan.
Ranting menjadi dilema, di satu sisi dia ingin simbok dioperasi. Namun di satu sisi bagaimana dia melunasi biaya operasi. Hingga hadirlah sosok Pak Basudewo menawarkan bantuan dengan syarat tertentu. Akankah Ranting menerima tawaran tersebut?
Lain halnya dengan kisah Gendhing, perempuan ini hanya sanggup menyelesaikan pendidikannya sampai SMA. Dia harus mengubur harapan untuk bisa kuliah. Setiap hari Gendhing berkutat dengan korang guna mencari pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikannya. Ibunya yang hanya sebagai buruh cuci dan bapaknya tukang becak. Dia tak bosan menekuri Koran setiap hari, namun belum ada satupun pekerjaan yang cocok. Rata-rata lowongan tersebut mematok pendidikan minimal diploma dan memiliki pengalaman kerja, sementara hal itu tak ada pada Gendhing.
Hingga suatu hari, ibunya mendapat tawaran dari Cik Ming, pemilik salon langganan ibunya mencucikan baju. Dan tanpa berpikir panjang, Gendhing pun menerima tawaran tersebut. Cik Ming mengajarinya teknik yang berkaitan dengan salon. Dari situlah masalah muncul. Gendhing yang kian hari makin mahir melakukan pekerjaan salon. Dia berkenalan dengan seorang lelaki bernama Indragiri. Lelaki tersebut sudah beristri dan mempunyai anaka. Namun mereka hidup terpisah jarak. Istri lebih memilih menemani anaknya yang sedang kuliah di Singapura.
Gendhing tak hanya tersandung masalah hati dengan Indagiri. Gendhing pun dihadapakan pada masalah ekonomi. Ibunya yang ternyata diam-diam menabung pada sebuah koperasi menggunakan uang pinjaman pada seorang Bandar justru tertipu.  Bagimana Gendhing menyelesaikan kemelut ekonomi keluarganya? Bisakah dia melunasi hutang-hutang orang tuanya? Sekelabat bayangan Indragiri dengan tawarannya membayang. Akankah dia memilih tawaran itu?
Begitupun dnegan kisah Tawangsri dan Zhang Mey berbeda pula. Tawangsri yang seorang mahasiswa ternyata tertarik dengan seorang duda beranak satu yang ditinggal mati istrinya. Awalnya Tawangsri mengingkari perasaannya. Namun pada akhirnya dia menyadari, hatinya telah jatuh pada lelaki bernama Jenggala yang mempunyai putri cantk bernama Langit Biru. Akankah keduanya bersama? Sementara di sisi lain dia ingin menyelesaikan kuliahnya.
Terakhir diceritakan kisah Zhang Mey, seorang perempuan keturunan Cina. Mempunya kesempatan yang sama dengan Tawangsri meraih pendidikan yang lebih baik ketimbang Ranting dan Gendhing. Zhang Mey diam-diam menjalin hubungan dengan Tenggar, seorang pemuda pribumi. Anak seorang petani dari Wonogiri. Hingga suatu hari Zhang Mey menceritakan kisahnya pada papanya. Namun diluar dugaan Zhang Mey, papanya tak merestui hubungan tersebut meski tanpa terang-terangan. Ada hal yang membentur mengenai hubungan tersebut. Perbedaan etnis dan tradisi. Sanggupkah Zhang Mey mempertahankan cintanya pada Tenggar?
***
Membaca novel mengenai lika-liku kehidupan perempuan ini, mengingatkan pada garis hidup saya dan ketiga teman perempuan semasa SMA dulu. Nyaris tiga tahun bersama dengan segala cerita yang menyertainya. Bedanya dengan cerita novel Sanie B. Kuncoro ini, Ranting tak sampai lulus pendidikannya, Gendhing sebatas SMA dan Tawangsri maupun Zhang Mey sampai jenjang kuliah seperti harapan mereka.
Sebut saja Warna, dia tak sempat menyelesaikan sekolahnya yang sebenarnya tinggal sedikit saja dikarenakan hamil duluan dan terpaksa harus menikah. Putih selepas lulus, memutuskan untuk menjalin serius hubungan dengan pacarnya ke jenjang pernikahan. Pelangi membantu orang tuanya bekerja di ladang menanam jagung dan ujungnya menikah dengan lelaki pilihannya dan memiliki anak. Sementara saya, selepas SMA sempat membantu saudara menjaga toko, hingga memutuskan bekerja ke luar negeri sebagai TKW. Setelah sekian tahun bekerja di sana, pulang dan dipertemukan jodoh dengan lelaki yang bekerja sebagai abdi negara di sebuah universitas negeri di kota Malang.
Meski menjalani masa remaja bersama, ternyata garis hidup kami berbeda dengan segala lika-liku yang menyertai. Begitu pun dengan cerita di novel ini ditulis dengan bahasa yang kaya akan diksi serta dituturkan secara manis dan mengalir. Meski didominasi dengan narasi, namun tak lantas membuat pembacanya bosan. Justru seakan tak sabar untuk meneruskan hingga akhir bab.  Selain itu novel ini tak hanya menyuguhkan cerita kesedihan semata. Banyak pembelajaran hidup yang bisa direnungkan dari kisah empat perempuan pada cerita ini. Menarik untuk dibaca siapapun, perempuan itu sendiri maupun lelaki pada umumnya.

8 komentar:

  1. Wow...sepertinya buku yang ada harus dibaca deh, Penasaran banget baca ulasannya. Thanks ya sharingnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buku ini memang menarik. tema dan alur ceritanya sarat pembelajaran.
      Sama-sama. terima kasih telah berkunjung dan komen :)

      Hapus
  2. sepertinya asyik nih bukunya....


    visit

    http://wkhatulistiwa.blogspot.com/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asyik banget mas Wawan, makasih sudah berkunjung dan baca ya :)
      Salam kenal :)

      Hapus
  3. Apik iki ya nak Von. Marai pengin duwe. Pinter olehmu ngiming-imingi aku wkwkwkwk......

    BalasHapus
    Balasan
    1. bagus banget Bun, saya belinya pas ada pameran buku di Malang jadi mumer dech dan gak setiap buku murah itu jelek.
      Ini buktinya :)
      Mumpung ada IBF tuh bun, siapa tahu ada. beli dan baca dech :)

      Hapus
  4. Menarik nih bukunya :)
    Resensinya juga bagus.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. sangat menarik menurutku Ry, kaya akan pembelajaran sebagai perempuan.
      Makasih :)

      Hapus